Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah S.a.w pernah
berkata kepada sahabat Abu Dzarr al-Ghifari r.a:
عن أَبِي ذَرٍ قالَ ،: قالَ لي رَسُولُ الله: «اتَّقِ
الله حَيْثُ مَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا،
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (رواه الترمذي)
Bertakwalah kepada Allah di manapun
engkau berada, dan ikutilah perbuatan burukmu itu dengan perbuatan yang baik yang
dapat menghapusnya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlak yang baik. (HR.
Tirmidzi)
Pertama,
bertakwa kepada Allah di manapun berada. Seseorang yang mengaku bertakwa kepada
Allah, maka ketakwaan itu selamanya harus senantiasa melekat pada dirinya. Setiap
mukmin harus terus berusaha agar dirinya selalu dalam keadaan bertakwa. Takwa
secara harfiah artinya takut. Orang yang bertakwa adalah orang yang takut akan
murka dan adzab Allah. Oleh karenanya, ia akan selalu menjalankan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan kata lain,
perasaan takut kepada Allah itu merupakan motif utama takwa dalam diri
seseorang. Maka, orang yang berbuat maksiat adalah orang-orang yang di dalam
dirinya tidak ada perasaan takut kepada Allah.
Hadits Nabi S.a.w di atas, اتَّقِ
الله حَيْثُ مَا كُنْتَ (bertakwalah
kepada Allah di manapun kamu berada), artinya seorang mukmin harus selalu
menjaga dirinya dari kemungkinan terjerumus kepada hal-hal dan
tindakan-tindakan maksiat. Di rumah ia bertakwa, di luar rumah pun tetap bertakwa.
Ada orang yang
ketika di rumah --apalagi ketika di masjid--, nampak sekali ketakwaannya paling
tidak bisa dilihat dari pakaian dan sikapnya, tetapi begitu sampai di kantor
takwanya mulai goyah karena ada godaan jabatan. Seorang pedagang ketika di pasar
takwanya melemah karena setan menggodanya untuk berbuat curang. Padahal Nabi
S.a.w menganjurkan agar ketakwaan kita senantiasa bersama kita: di rumah,
kantor, pasar, mall, sekolah, dan lain sebagainya.
Kedua,
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا (ikutilah
perbuatan burukmu itu dengan perbuatan yang baik yang dapat menghapusnya). Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan, baik yang
disengaja maupun yang tidak disengaja, karena manusia itu tempatnya lupa dan
salah (الإنسان مكان الخطأ والنسيان). Nabi mengajarkan kepada kita
bahwa setiap perbuatan salah harus segera diikuti oleh perbuatan baik.
Seseorang tanpa sengaja mungkin saja bersikap yang menimbulkan efek merendahkan
orang lain, atau karena emosi, memukul temannya sendiri. Maka segeralah meminta
maaf yang diikuti dengan perbuatan baik. Sebagai seorang karyawan, suatu ketika
mungkin ia melakukan kekeliruan dalam pekerjaannya, tetapi Islam melarang
seseorang terpuruk dengan kesalahannya apalagi sampai menimbulkan sikap putus
asa. Kesalahan dan kekeliruannya di masa lalu harus ia tebus dengan prestasi
kerja yang dapat dibanggakan di masa-masa yang akan datang. Itulah diantara
maksud petikan hadits Nabi tadi.
Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa seseorang tidak
dibenarkan memelihara kesalahan pada dirinya, apalagi melestarikannya. Bahwa
seseorang akan sangat mungkin melakukan kesalahan, adalah benar dan merupakan
sesuatu yang bersifat manusiawi, tetapi ia tidak boleh berhenti hingga di situ
saja: ia harus berusaha sekuat tenaga dengan sungguh-sungguh untuk
memperbaikinya. Kesalahan pertama mungkin masih bisa dimaafkan, tetapi
kesalahan yang sama pada kali kedua, ketiga dan seterusnya menunjukkan bahwa
pelakunya tidak berusaha untuk sadar dan menyadari kekeliruannya itu. Ini
masalah komitmen, yaitu tekad dan niat yang kuat dalam dirinya untuk secara
terus-menerus melakukan perbaikan-perbaikan.
وَالَّذِينَ
إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللَّهَ
فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ
يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (آل عمران : 135)
Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Q, s. Alu
Imran / 3:135)
Ketiga, وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik).
Setiap mukmin dituntut untuk menunjukkan akhlak yang baik dan budi pekerti yang
luhur. Misalnya, orang-orang mukmin apabila mereka bertemu akan saling bertegur
sapa, mengucapkan salam dan berjabat-tangan sambil menebarkan senyuman
masing-masing. Meskipun nampak sepele, tetapi hal ini tidak gampang dilakukan
oleh orang-orang yang di dalam hatinya ada perasaan sombong atau merasa dirinya
lebih dari yang lain. Misalnya, seseorang karena merasa dirinya sebagai pejabat
tidak mau bersalaman dengan pegawai rendahan. Seorang majikan karena merasa
dirinyalah yang menggaji pembantu, ia tidak mau mengucapkan salam kepadanya.
Bahkan seorang ulama sekalipun karena ingin kelihatan berwibawa ia enggan
menebar senyum kepada jamaahnya. Tegur sapa, jabat-tangan, ucapan salam dan
senyum manis adalah pesona seorang mukmin. Apabila orang-orang mukmin mau
melakukannya, maka berbagai masalah berat dan perselisihan diantara kaum
muslimin akan mudah diselesaikan.
Itulah karakteristik seorang
mukmin. Pesonanya terletak pada keluhuran akhlak dan kebaikan budi pekertinya,
yang tersimpul pada tiga hal sebagaimana diwasiatkan Nabi S.a.w: bertakwa di
manapun berada, memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya dengan perbuatan
baik, dan menampilkan akhlak yang baik dalam bergaul dengan orang lain.
مَا مِنْ شَيْئٍ فِي
المِيْزَانِ أَثْقَلَ مِنْ حُسْنِ الخُلُقِ (أخرجه أبو داود والترمذي)
Tidak ada sesuatu dalam timbangan
Allah pada Hari Kiamat nanti yang lebih berat daripada budi pekerti yang baik
(HR. Abu Dawud & Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar