Mengapa Muhammadiyah tidak menggunakan
qunut dalam shalat baik di waktu Shubuh ataupun waktu shalat Tarawih karena di
Negara kita sekarang lagi banyak terkena bencana? Terima kasih atas jawabannya
karena jawaban ini akan semakin meneguhkan keyakinanku bahwa Muhammadiyah
adalah salah satu ormas yang bertujuan untuk pemurnian agama Islam.
Permasalahan qunut sebenarnya
telah dijawab pada keputusan Muktamar Tarjih Wiradesa dan sudah termaktub dalam
buku Himpunan Putusan Tarjih hal. 366-367, dan telah dijawab oleh Tim PP.
Muhammadiyah Majlis Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2.
Pengertian qunut secara
definitif adalah tunduk pada Allah dengan penuh kebaktian dan
juga bisa berarti tulul qiyam (طُولُ
اْلقِيَامِ) atau berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam shalat
sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan ini termasuk ada
tuntutannya (masyru’), berdasarkan hadis Nabi saw:
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ اْلقُنُوتِ. [رواه مسلم وأحممد وابن ماجه والترمذى
وصححه]
Artinya: “Diriwayatkan dari
Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: Shalat yang paling utama adalah berdiri lama
(untuk membaca doa qunut).” [HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan
Tirmidzi].
Adapun qunut diartikan
dengan arti khusus yakni berdiri lama ketika i’tidal dan membaca doa:Allahummahdiny
fiman hadait … dan seterusnya di waktu shalat Subuh hukumnya
diperselisihkan ulama, di samping doa tersebut juga sebagai doa qunut witir
berdasarkan hadis:
وَعَنْ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ
الْوِتْرِ: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ،
وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي
شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّك تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، إنَّهُ لاَ يَذِلُّ
مِنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ. [رَوَاهُ الْخَمْسَة]
Artinya: “Diriwayatkan dari
Hasan bin Ali, ia berkata: Rasulullah saw telah mengajarkan kepadaku tentang
kalimat-kalimat yang aku baca ketika melakukan qunut witir: Allahumma-hdini
fiman hadait, wa’afini fiman ‘afait, watawallani fiman tawallait wabarikli fima
a’thaita wa qini syarra ma qadzaita fainnaka taqdzi wala yuqdza ‘alaika innahu
la yadzillu man wallaita tabarakta rabbana wa ta’alaita”.(HR. lima ahli
hadis)
Majelis Tarjih memilih
untuk tidak melakukan doa qunut karena melihat hadis-hadis tentang qunut Subuh dinilai
lemah dan banyak diperselisihkan oleh para ulama. Di samping itu terdapat
hadist yang menguatkan tidak adanya qunut Subuh. Dalam riwayat beberapa imam
disebutkan sebagai berikut:
مَا رَوَاهُ الْخَطِيبُ مِنْ طَرِيقِ قَيْسِ بْنِ الرَّبِيعِ عَنْ عَاصِمِ
بْنِ سُلَيْمَانَ، قُلْنَا لِأَنَسٍ: إنَّ قَوْمًا يَزْعُمُونَ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ فَقَالَ:
كَذَبُوا إنَّمَا قَنَتَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُو عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ
الْمُشْرِكِينَ.
Artinya: “Khatib meriwayatkan
dari jalan Qais bin Rabi’ dari Ashim bin Sulaiman, kami berkata kepada Anas:
Sesungguhnya suatu kaum menganggap Nabi saw itu tidak putus-putus berqunut di
(shalat) subuh, lalu Anas berkata: Mereka telah berdusta, karena beliau tidak qunut
melainkan satu bulan, yang mendoakan kecelakaan satu kabilah dari
kabilah-kabilah kaum musyrikin.” [HR. al-Khatib]
Begitu pula doa qunut
witir yang dibaca sesudah i’tidal sebelum sujud pada rakaat terakhir di malam
shalat witir baik dalam bulan Ramadan maupun dipertengahannya, tidak
disyariatkan. Karena itu tidak perlu untuk
diamalkan. Dalil-dalil yang menyatakan adanya doa qunut seperti riwayat
Abu Dawud, at-Tirmidzi, riwayat an-Nasa’i, riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Majah
dipandang kurang kuat karena ada perawi-perawi yang dipandang dhaif.
Adapun
yang ada tuntutannya itu ialah qunut NAZILAH yakni dilakukan setiap shalat
selama satu bulan di kala kaum muslimin menderita kesusahan dan tidak hanya
dikhususkan untuk shalat tertentu saja. Dan ini berdasarkan hadis Nabi saw
bahwa beliau pernah melakukannnya selama sebulan kemudian meninggalkannya
setelah turun peringatan Allah SWT.
قَالَ اْلبُخَارِى قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلاَنَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى رِجَالٍ مِنَ اْلمُشْرِكِينَ يُسَمِّيهِمْ
بِأَسْمَائِهِمْ حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ
شَيْئٌ) الأ ية – (ال عمران)
Artinya: “Berkata al-Bukhari:
Berkata Muhammad bin Ajlan dari Nafi’, dari Umar, katanya: Pernah Rasulullah
saw mengutuk orang-orang musyrik dengan menyebut nama-nama mereka sampai Allah
menurunkan ayat 128 surah Ali Imran: Laisa laka minal-amri syaiun (tidak
ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu).”
Pemahaman yang dapat diambil dari
riwayat tersebut ialah:
a. Bahwa QUNUT NAZILAH tidak lagi boleh diamalkan.
b. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata-kata kutukan dan permohonan
pembalasan terhadap perorangan.
Wallahu a’lam bish-shawab. putm*)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar