Menyangkut topik iman dan tindakan ini, sebuah hadits
Rasul S.a.w kiranya dapat memberikan gambaran tentang topik tersebut.
عن أبي هريرة قال: قال رسولُ الله صلى الله
عليه وسلم: من كان يُؤمن بالله واليوم الآخرِ فلا يُؤذِ جارَه، ومن كان يُؤمن
بالله واليوم الآخِرِ فلْيُكرِم ضَيفَه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخرِ
فلْيَقُلْ خيراً أو ليَصمُت (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah S.a.w
bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah
ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
maka hendaknya ia menghormati tamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik-baik saja, atau
(kalau tidak bisa berkata baik) lebih baik diam. (HR. Bukhari)
Hadits Nabi S.a.w di atas menunjukkan kepada kita
bahwa barangsiapa yang mengaku telah beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka
keimanannya itu harus dibuktikan dalam bentuk tindakan nyata. Bukti-bukti
keimanan seseorang yang disebutkan dalam hadits tadi, diantaranya adalah: 1)
tidak menyakiti tetangga, 2) menghormati tamu, 3) berkata yang baik-baik atau
kalau tidak bisa diam saja, karena diam itu lebih baik daripada harus berkata
yang buruk. Artinya, pengakuan iman seseorang tidak akan diterima oleh Allah
sebelum yang bersangkutan mewujudkan imannya itu dalam bentuk tindakan kongret.
Jika terdapat orang
yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi masih menyakiti tetangga, tidak
menghormati tamu dan perkataannya tidak baik, berarti imannya tidak
sungguh-sungguh. Sangat mungkin orang seperti ini beriman karena motif-motif
tertentu, bukan karena lillahi ta’āla.
Dalam Al-Qur’an, hampir setiap kata “āmanū”
(beriman), selalu dirangkai dengan kata “amilū as-shālihāt”
(beramal saleh). Jadi, iman saja tidak cukup, karena iman yang benar adalah
iman yang diikuti dengan amal saleh. Ini tidak bisa dipisahkan! Dan kita jangan
terkecoh apabila melihat orang-orang yang memakai atribut –atribut keimanan
lengkap, lihat dahulu apakah prilaku dan akhlaknya mencerminkan prilaku Islam
atau tidak. Kalau tidak, maka mereka itu pura-pura, imannya pamrih. Ulama
sekalipun, tetapi apabila akhlaknya tidak mencerminkan apa yang dituntunkan
oleh Islam, maka harus diragukan keulamaannya. Apalagi kalau ada ulama yang
perkataannya buruk, ulama berbohong, ulama ghibah, maka jelas yang seperti itu
adalah ulama palsu.
Maka, iman itu harus berwujud pada akhlak, pada
prilaku, pada tindakan nyata. Mengaku beriman tapi tidak peduli lingkungan,
tidak peka sosial, maka imannya masih diragukan. Dan orang yang seperti ini
disebut dengan orang munafik, yaitu orang yang antara perkataan dan
perbuatannya tidak sama, antara hati dan tindakannya berbeda. Dalam surat al-Mā’ūn bahkan
lebih keras lagi: mereka dijuluki sebagai orang-orang yang mendustakan agama.
أَرَأَيْتَ
الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ. وَلاَ
يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ.
Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Q, s. al-Mā’ūn/107:1-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar